Hancurkan Kamera: Kritik dan Usulan bagi Fotografer Amatir, Jurnalis (Pewarta Foto), dan Demonstran Narsis dalam Aksi Protes di Jalanan

Cover Hancurkan Kamera

Ditulis oleh Anonim. Disunting oleh Lanun.
Diterbitkan oleh Pustaka Bacang, 2025.
Anti-copyright!

Author
Submitted by kolektivaparodia on March 20, 2025

Kita sedang membuat diri kita rentan terhadap serangan.

Secara lebih mendalam, kita juga membuat sesama kita rentan. Di tengah demonstrasi, jumlah fotografer akan segera melebihi jumlah demonstran, yaitu mereka yang bersedia mengambil tindakan. Hal ini perlu kita perangi. Kamera adalah alat pengawasan, dan baik kita maupun pihak lawan yang menggunakannya, kita sama-sama berpartisipasi dalam pengawasan diri sendiri. Kelompok dan individu yang menyukai publisitas serta kesempatan berfoto harus menyadari bahwa tindakan mereka dapat membuat orang lain menjadi lebih rentan terhadap penindasan dan menurunkan efektivitas gerakan. Satu sesi foto yang dianggap menguntungkan oleh satu kelompok bisa menjadi publisitas di media sosial yang tidak diinginkan bagi seratus orang di sekitarnya.

Fokus utama kita bukanlah mempertahankan hak “mengambil gambar di tempat umum” yang sering dibela oleh fotografer. Kita tidak terlalu peduli dengan pembelaan klise yang mereka gunakan saat dikritik. Pertanyaan yang harus diajukan adalah: di mana posisimu dalam perjuangan sosial? Bagaimana kamu berperan untuk menggerakkan perlawanan? Singkatnya, jurnalis tidak memiliki hak politik atas ruang visual aksi protes di jalanan. Mereka memiliki kapasitas untuk terlibat langsung dalam momen perlawanan, tetapi justru mengorbankan kapasitas tersebut dengan mengubah peristiwa menjadi sekadar memori digital, bukannya sebagai potensi aksi di masa depan. Meskipun bukti fotografis pernah berguna, dengan memprioritaskan dokumentasi tanpa mempertimbangkan dampaknya pada aksi, jurnalis tidak dapat dianggap sebagai rekan seperjuangan pada saat ini.

Para pengamat ini cenderung tidak bertindak. Berulang kali, fotografer menghambat jalannya peristiwa dengan berdiri tepat di depan aksi, menerobos, dan menghalangi jalur untuk mendukung rekan-rekan, sekaligus mendokumentasikan upaya mereka. Mata tanpa tubuh tidak bergerak, namun dapat mendorong musuh. Ketika kamu mengambil foto di sebuah demonstrasi sebelum aksi berlangsung, jika kemudian terjadi sesuatu, polisi dapat menggunakan foto itu untuk menyusun narasi dan membangun identitas-target. Mereka bisa saja tanpa sengaja menyoroti seseorang yang terlibat dalam peristiwa yang belum terjadi, yang nantinya akan dijadikan bukti penting oleh pihak berwenang. Menghambat kemungkinan dan membatasi potensi adalah sesuatu yang tidak seharusnya kita terima begitu saja.

Saatnya untuk melawan. Teks ini merupakan seruan bagi semua pihak untuk bangkit melawan mereka yang menempatkan nyawa kita dalam bahaya. Orang-orang yang mengambil foto dan mengunggahnya secara daring—tanpa mengaburkan wajah atau menyunting identitas—menempatkan kita pada risiko yang tinggi, dan kita tidak boleh bersikap acuh. Di negara-negara lain dengan gerakan yang jauh lebih kuat, sikap acuh tak acuh tidak mendominasi; orang sering kali menghancurkan kamera yang mengarahkan lensa kepada teman-teman mereka, yang sengaja mendokumentasikan aksi tersebut. Mereka menghancurkan kamera karena menyadari bahwa instrumen semacam itu dapat menyebabkan penangkapan, dan penangkapan tersebut dapat merusak hidup dan menghancurkan gerakan. Mengapa harus mentolerir alat yang mendukung serta memperkuat penindasan dan pengawasan atas kita? Kita seharusnya belajar dari rekan-rekan kita di Eropa yang jauh lebih cekatan dalam perlawanan dan tidak mudah terjebak dalam sikap acuh.

Namun demikian, kita bukanlah kaum yang menolak teknologi secara keseluruhan. Sebaliknya, kita menyukai foto yang bagus dan tidak dapat mengabaikan daya tarik visual di era spektakel ini. Ada alasan mengapa kita menyebutnya “pornografi kerusuhan.” Kita bahkan telah mencetak dan membingkai kenangan yang paling kita hargai. Kita memahami pentingnya mendokumentasikan perjuangan tertentu untuk menyebarkan pesan, berbagi dengan rekan-rekan di luar negeri, dan menyalakan api perlawanan. Foto memang dapat mengungkap musuh, namun foto juga dapat mengungkap identitas kita. Hal ini bukanlah kritik terhadap kamera itu sendiri, melainkan terhadap penggunaan tertentu yang telah mendominasi:

“Senjata sebagai objek mati tidak ada. Yang ada hanyalah senjata dalam aksi, yakni yang digunakan (atau menunggu untuk digunakan) dalam suatu perspektif tertentu… Di balik setiap benda selalu ada individu, individu yang bertindak, merencanakan, dan menggunakan sarana untuk mencapai tujuan.”
(Alfredo Bonanno, “Penolakan terhadap Senjata”)

Kita memiliki rekan yang dipercaya untuk mengambil foto yang berkualitas, namun kunci utamanya adalah kepercayaan. Kita menganggap mereka sebagai bagian dari perjuangan kita, sebagai partisan dan rekan dalam perang sosial. Dengan asumsi bahwa kamu ingin terlibat dalam perjuangan sosial sebagai seorang teman dan telah berkomitmen menggunakan kamera, berikut adalah beberapa pedoman yang diusulkan:

1. Bertolak belakang dengan banyak saran fotografi protes yang menganjurkan untuk mendekat, justru di sini janganlah kamu terlalu dekat dengan objek foto.
2. Jika terdapat wajah dalam hasil fotomu, sensorlah wajah tersebut (efek blur dan semacamnya). Efek blur sederhana dalam Photoshop tidaklah cukup; yang dimaksud adalah pengacakan sedemikian rupa sehingga prosesnya tidak dapat dibalik.
3. Jika terdapat pakaian yang mencolok atau mudah dikenali dalam foto, sensorlah juga.
4. Jika identitas tertentu terlihat menonjol (misalnya, beberapa orang dengan pakaian hitam dalam demonstrasi mayoritas orang menggunakan jas almamater, atau individu dengan disabilitas yang tampak dalam aksi yang mayoritasnya adalah orang tanpa disabilitas), sebaiknya hapus foto tersebut.
5. Jika kamu memilih untuk berpartisipasi sebagai penonton, sadari bahwa peranmu itu sekunder dibandingkan mereka yang aktif beraksi dalam momen perlawanan. Artinya, kamu sebaiknya mundur meskipun berisiko kehilangan foto yang “ideal.”
6. Jika memungkinkan—atau umumnya memungkinkan—mintalah izin atau beritahukan bahwa kamu sedang mengambil foto, sehingga peserta aksi memiliki pilihan untuk menolak atau menghindar. Kami memahami bahwa di ruang publik tidak selalu diperlukan izin, namun kegagalan untuk bertanya dapat menimbulkan kecurigaan terhadap motivasimu dan memberikan alasan tambahan bagi kami untuk menjaga penutupan identitas.
7. Anggap kameramu sebagai senjata. Tembakan yang salah sasaran (friendly fire) tidak dapat diterima!
8. Ingatlah bahwa kamu adalah partisan dalam perang sosial. Terlibatlah secara aktif dalam perjuangan yang kamu dokumentasikan. Apakah peristiwa tersebut layak didokumentasikan? Jika ya, bagaimana cara mendokumentasikannya agar pesan perlawanan semakin tersebar? Jadilah rekan seperjuangan dan peroleh kepercayaan dari mereka yang ada di sekitarmu. Kecuali bagi para aktivis profesional, bagi sebagian besar dari kita, ini bukanlah karier.
9. Ambillah foto polisi (dan TNI jika ada) dan sebarkan, kita juga perlu untuk menandai wajah mereka.
10. Ambil kesimpulan dan pedoman tambahan dari analisis di atas.

Sampai diskusi tentang fotografi protes menjadi lebih meluas, sampai pedoman seperti ini diadopsi secara umum, dan sampai beban pengawasan terletak pada pihak fotografer, bukan pada partisipan aktif, hingga saatnya tiba...

Seruan ini adalah ajakan bagi kita semua untuk menghancurkan kamera. Berkali-kali kita melihat rekan-rekan kita ditangkap karena seseorang memilih momen ketenaran sesaat—karena tergoda oleh publisitas di media seperti Vice, Evening Standard, atau Guardian—daripada berdiri bersama mereka yang berjuang melawan negara pengawas yang mengendalikan kita. Mungkin mereka berpikir bahwa dengan menyebarkan pesan atau perlawanan, mereka ikut berkontribusi. Namun pada kenyataannya, tindakan tersebut justru memperkuat iklim ketidakberdayaan dan ketakutan dalam bertindak, serta menyebarkan informasi yang nantinya dapat digunakan untuk menjatuhkan kita. Lain kali, ketika kamu melihat seseorang mengarahkan lensa kamera ke wajah orang lain secara terlalu dekat, menghalangi jalanmu untuk membantu rekan-rekan, pikirkanlah untuk tidak tinggal diam.

Lawan! Lindungi kawan-kawanmu! #HancurkanKamera

Comments